REFELEKSI BANGSA YANG TIDAK MANDIRI
Bangsa
Pertama; Sumber-sumber ekonomi yang vital dan mengusai hajat hidup orang banyak seperti pertambangan, kehutanan, pertanian, pabrik-pabrik, sarana transportasi, sarana komunikasi, dll sudah hampir dikuasai sepenuhnya oleh pihak asing. Di sektor migas, 80-90% pengelolaan migas nasional dikuasai oleh fihak asing, akibatnya 85% dari total produksi minyak mentah dan gas bumi berada ditangan korporasi asing seperti Chevron, Exxon, British Petroleum, Conoco Philips, dll. Di Bidang telekomunikasi, penguasaan asing pada sektor ini sudah mencapai 65%. Pihak asing juga menguasai penuh aktivitas investasi, dimana mereka mengontrol 75% dari total investasi yang ada. Di sektor keuangan, kepemilikan asing terhadap perbankan nasional mencapai 48%, sedangkan di pasar modal pihak asing mengontrol sebesar 67,34%.
Kedua; Kebijakan ekonomi baik di sektor tenaga kerja, pengelolaan energi, perbankan, pertanian, kehutanan, dan sebagainya, sepenuhnya dibuat untuk menfasilitasi kepentingan asing. Dalam hal regulasi, pemerintahan SBY berkolaborasi dengan DPR menyusun UU yang mensahkan kekayaan alam kita dirampok oleh penjajah, mensahkan pendidikan kita dikuasai oleh asing, membiarkan pelayanan rumah sakit dan obat-obatan dikontrol oleh pihak penjajah. Ketiga; Industrialisasi yang seharusnya diciptakan untuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyat dan menciptakan lapangan kerja justru berjalan dalam situasi yang mengkhawatirkan. Pemerintah mengabaikan industri nasional, malah semakin mengarahkan ekonomi nasional pada kebijakan “pasar bebas” yang membunuh industri di dalam negeri.
Bersamaan dengan proses industrialisasi untuk melayani keserakahan asing, sebanyak 95 juta hektar lahan telah diserahkan kepada perusahaan minyak di sektor hulu, tujuannya untuk membebaskan mereka mengeksploitasi alam di wilayah tersebut. Lebih 40 juta hektar areal tanah diserahkan kepada asing untuk eksploitasi mineral dan batubara, 7 juta hektar diserahkan untuk perkebunan asing, dan 31 juta hektar beserta hutannya diserahkan kepada perusahaan pengelolaan hutan asing. Satu sisi, rakyat dipaksa mengelolah lahan sempit dan tanpa mendapat pasokan air. Dulu Bung Karno mengatakan “tidak boleh sejengkal pun tanah republik ini jatuh ke tangan asing, semuanya harus diserahkan kepada rakyat”.
SBY tidak lebih baik dibanding pemerintahan sebelumnya. Sebagian besar yang dijanjikannya pada masa kampanye tidak berjalan, kemudian beralih menjalankan kebijakan-kebijakan yang mengikuti resep IMF. Dalam hal ini, jelas SBY lebih patuh dan agresif menjalankan neoliberalisme yang terhambat pada masa pemerintahan sebelumnya. Mengenai privatisasi BUMN, yang juga merupakan skenario IMF, SBY jauh lebih agresif menjual dibanding pemerintahan sebelumnya. Periode 1991-2001, pemerintah
Apa yang sering disebutkan sebagai keberhasilan, karena menurunkan harga BBM sebanyak 3 kali, perlu diperiksa kebenarannya. Pada saat memulai kekuasaannya, harga BBM berkisar pada harga Rp. 4.500/liter, sedangkan setelah menaikkan BBM tiga kali harga BBM merangkak lebih dari 100%, yaitu Rp. 6500/liter. Harga BBM sekarang ini, setelah tiga kali diturunkan, adalah Rp. 4.500, yang berarti tidak ada perbaikan terhadap ekonomi. Padahal, harga minyak dunia yang menjadi patokan SBY telah turun 50%, mestinya BBM di Indonesia juga turun 50% sehingga harganya dipatok hanya 3000-3.500 rupiah. Kenapa SBY menurunkan BBM dengan cara mengansur tiga kali? Tujuannya ada dua; pertama, untuk mengejar popularitas di mata rakyat; kedua, mencegah penurunan harga BBM tidak menyeret kejatuhan harga-harga barang pokok, terutama jenis harga konsumsi impor yang kini membanjiri pasar-pasar (pasar modern/tradisional).
Kebijakan energi nasional, yang seharusnya dibuat untuk memacu dan menyokong industri nasional dan pemenuhan kebutuhan rakyat, justru dikelola berdasarkan hukum pasar yang benar-benar liberal. Korporasi swasta asing bukan saja merajalela dalam sektor hulu, tetapi juga kian marak di kegiatan hilir. Beberapa SPBU bermerek asing seperti Petronas, Shell, dll, kian marak di kota-kota besar di
Di bidang politik, Aparatus birokrasi tetap menjadi habitat koruptor. Penanganan korupsi ala kadarnya dipublikasikan secara artifisial oleh pemerintah melaui media
Terakhir, kemiskinan adalah akar permasalahan bangsa yang nyata dewasa ini, dan mazhab ekonomi neolibralisme yang dianut oleh pemerintah kita menjadi penyebab utamanya. Fakta ini tidak dapat dibantah dengan teori ekonomi manapun pula. Mesti ada konsepsi ekonomi alternatif yang dapat mengangkat harkat dan martabat